PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN INDONESIA
(Pendekatan Normatif)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pertumbuhan penduduk dan
pertumbuhan ekonomi yang terjadi dibeberapa Negara, telah mendorong
meningkatnya permintaan komoditas perikanan dari waktu ke waktu. Meningkatnya
permintaan ikan ini mengarah pada jumlah yang tidak terbatas, mengingat
kegiatan pembangunan yang merupakan factor pendorong dari permintaan ikan
berlangsung secara terus menerus. Sementara disisi lain, permintaan ikan
tersebut dipenuhi dari sumberdaya ikan yang jumlahnya di alam memang terbatas.
Kecendrungan meningkatnya
permintaan ikan telah membuka peluang berkembang pesatnya industri perikanan,
baik perikanan tangkap maupun perikanan budidaya. Hanya sayangnya, perkembangan
industri perikanan ini lebih banyak dilandasi oleh pertimbangan teknologi dan
ekonomi, dan sekaligus mengabaikan pertimbangan lainnya seperti lingkungan,
social budaya serta kelestarian sumberdaya perikanan. Akibatnya, jaminan usaha
perikanan yang berkelanjutan menjadi tanda tanya, disamping upaya meningkatkan
kesejahteraan nelayan menjadi semakin jauh.
Bagi Indonesia, perikanan mempunyai peranan yang cukup
penting dalam pembangunan nasional. Hal ini disebabkan karena adanya beberapa
factor, diantaranya adalah :
-
Sekitar 2.274.629 orang
nelayan dan 1.063.140 rumah tangga budidaya, menggantungkan hidupnya dari
kegiatan usaha perikanan.
-
Adanya sumbangan devisa yang
jumlahnya cukup signifikan dan cendrung meningkat dari tahun ketahun.
-
Mulai terpenuhinya kebutuhan sumber protein hewani
bagi sebagian masyarakat.
-
Terbukanya lapangan kerja bagi angkatan kerja baru,
sehingga diharapkan mampu mengurangi angka pengangguran dan
-
Adanya potensi perikanan yang
dimiliki Indonesia
Dalam kerangka pembangunan
nasional, maka peningkatan kontribusi perikanan harus diupayakan secara
berhati-hati, agar tidak menimbulkan dampak negative dimasa yang akan datang.
Disinilah peranan pengelolaan potensi perikanan menjadi sangat strategis.
Disisi lain, disadari juga bahwa pertumbuhan penduduk dunia dan pertumbuhan
ekonomi beberapa negara di dunia, telah mendorong meningkatnya permintaan bahan
makanan termasuk didalamnya ikan. Disamping itu, timbulnya kesadaran masyarakat
akan kesehatan telah menggeser pola makan masyarakat, khususnya sumber protein
hewani dari yang bersifat “red meal” (sapi, babi dan sebagainya) ke “white
meal” (ikan). Kondisi tersebut diatas telah berimplikasi pada meningkatnya
permintaan ikan dunia
1.2 Maksud dan Tujuan
Paper ini ditulis dengan
maksud untuk melihat bagaimana kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan
Indonesia seharusnya dilakukan dan bagaimana posisi kebijakan tersebut apabila
dipandang dari sisi normatif. Sedangkan tujuan dari penulisan paper ini adalah untuk
melihat hal-hal sebagai berikut :
1). Memberikan
gambaran beberapa model normative yang dapat dipergunakan dalam pengelolaan
sumberdaya ikan.
2). Melihat
peranan yang dapat diambil oleh pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya ikan
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Sumberdaya Ikan Sebagai Sumberdaya
Alam
Sumberdaya alam (natural resources) pada dasarnya mempunyai
pengertian segala sesuatu yang berada dibawah atau diatas bumi, termasuk tanah
itu sendiri (Suparmoko, 1997). Dengan kata lain, sumberdaya alam adalah sesuatu
yang masih terdapat didalam maupun diluar bumi yang sifatnya masih potensial
dan belum dilibatkan dalam proses produksi. Pengertian ini berbeda dengan
barang sumberdaya (resources commodity), karena merupakan sumberdaya
alam yang sudah diambil dari dalam atau atas bumi dan siap dipergunakan atau
dikombinasikan dengan factor produksi lainnya untuk menghasilkan produk baru
yang dapat dimanfaatkan baik oleh konsumen maupun produsen.
Sumberdaya alam mempunyai hubungan yang sangat erat dengan pertumbuhan
ekonomi yang terjadi di suatu Negara (khususnya Negara sedang berkembang),
dimana semakin tinggi pertumbuhan ekonominya, akan mengakibatkan persediaan
sumberdaya alam yang tersedia akan semakin berkurang. Hal ini karena
pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan selalu menuntut adanya barang sumberdaya
dalam jumlah yang tinggi pula, dan barang sumberdaya ini diambil dari
persediaan sumberdaya alam yang ada. Dengan demikian, terdapat hubungan yang
“positif” antara jumlah barang sumberdaya dengan pertumbuhan ekonomi, disamping
juga hubungan yang “negative” antara persediaan sumberdaya alam dengan
pertumbuhan ekonomi.
Uraian diatas memberikan peringatan kepada kita bahwa pembangunan dan
pertumbuhan ekonomi, apabila dilakukan tidak secara berhati-hati akan dapat
mengguras persediaan sumberdaya alam yang ada. Kondisi ini pada gilirannya
nanti akan dapat menghambat pertumbuhan ekonomi lebih lanjut. Oleh karena itu,
pemanfaatan sumberdaya alam dalam rangka pembangunan harus dilakukan secara
bijaksana, dengan selalu mempertimbangkan sisi positif dan negatifnya.
Ikan adalah
salah satu bentuk sumberdaya alam yang bersifat renewable atau mempunyai
sifat dapat pulih/dapat memperbaharui diri. Disamping sifat renewable, menurut
Widodo dan Nurhakim (2002), sumberdaya ikan pada umumnya mempunyai sifat “open
access” dan “common property” yang artinya pemanfaatan bersifat
terbuka oleh siapa saja dan kepemilikannya bersifat umum. Sifat sumberdaya
seperti ini menimbulkan beberapa konsekuensi, antara lain :
1) Tanpa adanya pengelolaan akan
menimbulkan gejala eksploitasi berlebihan (over exploitation), investasi
berlebihan (over investment) dan tenaga kerja berlebihan (over employment).
2) Perlu adanya hak kepemilikan
(property rights), misalnya oleh Negara (state property rights), oleh
masyarakat (community property rights) atau oleh swasta/perorangan (private
property rights).
Dengan sifat-sifat sumberdaya seperti
diatas, menjadikan sumberdaya ikan bersifat unik, dan setiap orang mempunyai
hak untuk memanfaatkan sumberdaya tersebut dalam batas-batas kewenangan hukum
suatu Negara.
Pada hakekatnya masalah sumberdaya
milik bersama, berkaitan erat dengan persoalan-persoalan eksploitasi atau
pemanfaatan yang berlebihan. Hal ini disebabkan oleh karena adanya pendapat
masyarakat yang mengatakan bahwa sumberdaya milik bersama adalah sumberdaya
milik setiap orang. Oleh karena itu, dapatkan sumberdaya tersebut selagi masih
baik dan mengapa kita harus menghematnya, sementara orang lain menghabiskannya.
Kondisi diatas mengakibatkan sumberdaya
milik bersama seperti halnya sumberdaya ikan adalah memungkinkan bagi setiap
orang atau perusahaan dapat dengan bebas masuk untuk mengambil manfaat.
Selanjutnya, dengan adanya orang atau perusahaan yang berdesakan karena mereka
bebas masuk, maka akan terjadi interaksi yang tidak menguntungkan dan secara
kuantitatif berupa biaya tambahan yang harus diderita oleh masing-masing orang
atau perusahaan, sebagai akibat keadaan yang berdesakan tersebut. Dengan
demikian, secara prinsip sumberdaya milik bersama yang dicirikan dengan
pengambilan secara bebas maupun akibat-akibat lain yang ditimbulkan seperti
biaya eksternalitas (disekonomis) dan lain sebagainya, akan menimbulkan
kecendrungan pengelolaan secara deplesi.
Pengertian deplesi disini adalah suatu
cara pengambilan sumberdaya alam secara besar-besaran, yang biasanya dilakukan
untuk memenuhi kebutuhan akan bahan mentah. Dalam kaitannya dengan sumberdaya
perikanan yang sifatnya dapat diperbaharui, tindakan deplesi walaupun dapat diimbangi
dengan kegiatan konservasi akan tetap melekat dampaknya terhadap lingkungan dan
membutuhkan waktu yang cukup lama untuk memulihkannya.
Lebih lanjut, Nikijuluw (2002)
mengemukakan adanya 3 (tiga) sifat khusus yang dimiliki oleh sumberdaya yang
bersifat milik bersama tersebut. Ketiga sifat khusus tersebut adalah :
1) Ekskludabilitas
Sifat ini berkaitan dengan upaya
pengendalian dan pengawasan terhadap akses ke sumberdaya. Upaya pengendalian
dan pengawasan ini menjadi sulit dan sangat mahal oleh karena sifat phisik
sumberdaya ikan yang dapat bergerak, disamping lautan yang cukup luas. Dalam
kaitan ini, orang akan dengan mudah memasuki area perairan untuk memanfaatkan
sumberdaya ikan yang ada didalamnya, sementara disisi lain otoritas menejemen
sangat sulit untuk mengetahui serta memaksa mereka untuk keluar.
2) Substraktabilitas
Substraktabilitas adalah suatu situasi
dimana seseorang mampu dan dapat menarik sebagian atau seluruh manfaat dan
keuntungan yang dimiliki oleh orang lain. Dalam kaitan ini, meskipun para
pengguna sumberdaya melakukan kerjasama dalam pengelolaan, akan tetapi kegiatan
seseorang didalam memanfaatkan sumberdaya yang tersedia akan selalu berpengaruh
secara negatif pada kemampuan orang lain didalam memanfaatkan sumberdaya yang
sama. Dengan demikian, sifat ini pada dasarnya akan menimbulkan persaingan yang
dapat mengarah pada munculnya konflik antara rasionalitas individu dan
kolektif.
3) Indivisibilitas
Sifat ini pada hakekatnya menunjukkan
fakta bahwa sumberdaya milik bersama adalah sangat sulit untuk dibagi atau
dipisahkan, walaupun secara adminstratif pembagian maupun pemisahan ini dapat
dilakukan oleh otoritas menejemen.
2.2 Pengelolaan Sumberdaya Ikan
Pengelolaan sumberdaya ikan adalah
suatu proses yang terintegrasi mulai dari pengumpulan informasi, analisis,
perencanaan, konsultasi, pengambilan keputusan, alokasi sumber dan
implementasinya, dalam rangka menjamin kelangsungan produktivitas serta
pencapaian tujuan pengelolaan (FAO, 1997). Sementara Widodo dan Nurhakim (2002)
mengemukakan bahwa secara umum, tujuan utama pengelolaan sumberdaya ikan adalah
untuk :
1). Menjaga
kelestarian produksi, terutama melalui berbagai regulasi serta tindakan
perbaikan (enhancement).
2).
Meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan social para nelayan serta
3). Memenuhi
keperluan industri yang memanfaatkan produksi tersebut.
2.3 Model
Pengelolaan
Pengelolaan sumberdaya perikanan umumnya didasarkan pada konsep “hasil
maksimum yang lestari” (Maximum Sustainable Yield) atau juga disebut
dengan “MSY”. Konsep MSY berangkat dari model pertumbuhan biologis yang
dikembangkan oleh seorang ahli Biologi bernama Schaefer pada tahun 1957. Inti
dari konsep ini adalah menjaga keseimbangan biologi dari sumberdaya ikan, agar
dapat dimanfaatkan secara maksimum dalam waktu yang panjang. Pendekatan konsep
ini berangkat dari dinamika suatu stok ikan yang dipengaruhi oleh 4 (empat)
factor utama, yaitu rekrutment, pertumbuhan, mortalitas dan hasil
tangkapan.
Pengelolaan sumberdaya ikan seperti ini lebih berorientasi pada
sumberdaya (resource oriented) yang lebih ditujukan untuk melestarikan
sumberdaya dan memperoleh hasil tangkapan maksimum yang dapat dihasilkan dari
sumberdaya tersebut. Dengan kata lain, pengelolaan seperti ini belum berorientasi
pada perikanan secara keseluruhan (fisheries oriented), apalagi berorientasi
pada manusia (social oriented).
Pengelolaan sumberdaya ikan dengan menggunakan pendekatan “Maximum
Sustainable Yield” telah mendapat tantangan cukup keras, terutama dari para
ahli ekonomi yang berpendapat bahwa pencapaian “yield” yang maksimum
pada dasarnya tidak mempunyai arti secara ekonomi. Hal ini berangkat dari adanya masalah “diminishing
return” yang menunjukkan bahwa kenaikan “yield” akan berlangsung
semakin lambat dengan adanya penambahan “effort” (Lawson, 1984).
Pemikiran dengan memasukan unsur ekonomi didalam pengelolaan sumberdaya ikan,
telah menghasilkan pendekatan baru yang dikenal dengan “Maximum Economic
Yield” atau lebih popular dengan “MEY”. Pendekatan ini pada intinya
adalah mencari titik yield dan effort yang mampu menghasilkan selisih maksimum
antara total revenue dan total cost.
Selanjutnya, hasil kompromi dari kedua
pendekatan diatas kemudian melahirkan konsep “Optimum Sustainable Yield”
(OSY), sebagaimana dikemukakan oleh Cunningham, Dunn dan Whitmarsh (1985).
Secara umum konsep ini dimodifikasi dari konsep “MSY”, sehingga menjadi
relevan baik dilihat dari sisi ekonomi, social, lingkungan dan factor lainnya.
Dengan demikian, besaran dari “OSY” adalah lebih kecil dari “MSY”
dan besaran dari konsep inilah yang kemudian dikenal dengan “Total Allowable
Catch” (TAC). Konsep pendekatan ini mempunyai beberapa kelebihan
dibandingkan dengan “MSY”, diantaranya adalah :
1). Berkurangnya resiko terjadinya
deplesi dari stok ikan
2). Jumlah tangkapan per unit effort
akan menjadi semakin besar
3). Fluktuasi TAC juga akan menjadi
semakin kecil dari waktu ke waktu
Hasil pengkajian terakhir yang telah
dilakukan terhadap sumberdaya ikan Indonesia, menunjukan bahwa jumlah potensi
lestari adalah sebesar 6,409 juta ton ikan/tahun, dengan tingkat eksploitasi
pada tahun terakhir mencapai angka 4,069 juta ton ikan/tahun (63,49%). Dengan
demikian, masih ada cukup peluang untuk meningkatkan produksi perikanan
nasional. Namun demikian, yang perlu diperhatikan adalah adanya beberapa zone
penangkapan yang kondisi sumberdaya ikannya cukup memprihatinkan dan sudah
melampaui potensi lestarinya (over fishing), yaitu di perairan Selat Malaka dan
perairan Laut Jawa. Akan tetapi di kedua perairan tersebut, terdapat beberapa
kelompok ikan (ikan pelagis besar dan ikan pelagis kecil di Selat Malaka serta
ikan demersal di Laut Jawa) yang masih mungkin untuk dikembangkan
eksploitasinya.
Sementara di 7 (tujuh) zone penangkapan
lainnya, sekalipun tingkat pemanfaatan sumberdaya ikannya secara keseluruhan
masih berada dibawah potensi lestari, akan tetapi untuk beberapa kelompok ikan
sudah berada pada posisi “over fishing”. Sebagai contoh, udang dan
lobster di perairan Laut Cina Selatan, ikan demersal; udang dan cumi-cumi di
perairan Selat Makasar dan Laut Flores. Oleh karena itu, pada beberapa perairan
yang kondisi pemanfaatan sumberdaya ikannya telah mendekati dan atau melampaui
potensi lestarinya, maka perlu kiranya mendapatkan perlakuan khusus agar sumberdaya
ikan yang ada tidak “collapse”.
Informasi yang berkaitan dengan potensi
dan penyebaran sumberdaya ikan laut di perairan Indonesia, telah dipublikasikan
oleh “Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan Laut” pada tahun 1998.
Dalam publikasi tersebut, wilayah perairan Indonesia dibagi menjadi 9
(sembilan) zone, yaitu :
1) Selat Malaka
2) Laut Cina
Selatan
3) Laut Jawa
4) Selatan Makasar dan Laut Flores
5) Laut Banda
6) Laut Seram dan Teluk Tomini
7) Laut
Sulawesi dan Samudra Pasifik
8) Laut Arafura
9) Samudra
Hindia
Sementara dalam menentukan stok sumberdaya ikan di perairan Indonesia,
dipergunakan beberapa metoda sesuai dengan jenis dan sifat sumberdaya ikan. Metoda tersebut dapat dilihat melalui
table berikut :
Tabel 1. Metoda Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan
Jenis SD. Ikan
|
Metoda
|
|||||
Sensus/
Transek
|
Swept
Area
|
Akustik
|
Surplus
Produksi
|
Tagging
|
Ekstra/
Intra-
polasi
|
|
1. Ikan
Pelagis Besar
|
X
|
x
|
||||
2. Ikan Pelagis Kecil
|
X
|
x
|
||||
3. Ikan Demersal
|
X
|
x
|
||||
4. Ikan Karang
|
X
|
X
|
||||
5. Ikan Hias
|
X
|
|||||
6. Udang dan krustasea
|
X
|
x
|
||||
7. Muluska
& teripang
|
X
|
X
|
||||
8. Mammalia
& reptilian
|
X
|
X
|
||||
9. Rumput Laut
|
X
|
|||||
10. Benih
Alam
|
X
|
X
|
||||
11. Karang
|
X
|
Sumber : Komnas. Pengkajian Stok
Sumberdaya Ikan Laut (1998).
Dalam kaitan ini terdapat beberapa
pendekatan yang dapat dilakukan didalam mengelola sumberdaya perikanan, agar
tujuan pengelolaan dapat tercapai. Pendekatan dimaksud sebagaimana dikemukakan
oleh Gulland dalam Widodo dan Nurhudah (1985) adalah sebagai berikut :
1). Pembatasan alat tangkap
2). Penutupan daerah penangkapan ikan
3). Penutupan musim penangkapan ikan
4). Pemberlakuan kuota penangkapan ikan
5). Pembatasan ukuran ikan yang menjadi
sasaran
6). Penetapan jumlah hasil tangkapan
setiap kapal
2.4 Peranan Pemerintah Dalam
Pengelolaan
Dalam pelaksanaanya di Indonesia,
pemerintah mempunyai peranan yang sangat penting untuk mengelola sumberdaya
ikan, sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 (pasal 33) maupun
Undang-Undang Perikanan No. 9 tahun 1985, yang intinya memberikan mandat kepada
pemerintah didalam mengelola sumberdaya alam untuk kesejahteraan rakyat.
Keterlibatan pemerintah didalam pengelolaan sumberdaya ikan ini, menurut
(Nikijuluw, 2002) diwujudkan dalam 3 (tiga fungsi), yaitu :
1). Fungsi Alokasi, yang
dijalankan melalui regulasi untuk membagi sumberdaya sesuai dengan tujuan yang
telah ditetapkan
2). Fungsi Distribusi,
dijalankan oleh pemerintah agar terwujud keadilan dan kewajaran sesuai
pengorbanan dan biaya yang dipikul oleh setiap orang, disamping adanya
keberpihakan pemerintah kepada mereka yang tersisih atau lebih lemah.
3). Fungsi Stabilisasi,
ditujukan agar kegiatan pemanfaatan sumberdaya ikan tidak berpotensi
menimbulkan instabilitas yang dapat merusak dan menghancurkan tatanan social
ekonomi masyarakat.
Didalam menjalankan fungsi-fungsi
diatas, maka kiranya pemerintah perlu mempertimbangkan cara pandang teleologik
sebagaimana diungkapkan oleh Hull dalam Nasoetion (1999), yaitu dengan
selalu melihat tujuan atau akibat dari suatu tindakan. Dengan demikian, dalam
etika teleologi suatu tindakan dinilai baik apabila tindakan tersebut mempunyai
tujuan baik dan mendatangkan akibat yang baik pula (Keraf, 2002).
Etika teleology sendiri dikelompokkan
menjadi 2 (dua), dimana salah satunya adalah utilitarianisme yang banyak
dipergunakan sebagai pegangan didalam menilai sebuah kebijakan yang bersifat
public. Selanjutnya (Keraf, 2002) juga mengemukakan terdapat 3 (tiga) kriteria
yang dipergunakan dalam teori utilitarianisme sebagai dasar tujuannya, yaitu :
1). Manfaat, yaitu kebijakan
atau tindakan itu mendatangkan manfaat tertentu.
2). Manfaat terbesar, yaitu
kebijakan atau tindakan tersebut mendatangkan manfaat lebih besar atau terbesar
bila dibandingkan dengan kebijakan atau tindakan alternatif lain. Dalam kaitan
ini, apabila semua alternatif yang ada ternyata sama-sama mendatangkan
kerugian, maka tindakan atau kebijakan yang baik adalah yang mendatangkan
kerugian terkecil.
3). Manfaat terbesar bagi sebanyak
mungkin orang, artinya suatu kebijakan atau tindakan dinilai baik apabila
manfaat terbesar yang dihasilkan berguna bagi banyak orang. Semakin banyak
orang yang menikmati akibat baik tadi, maka semakin baik kebijakan atau
tindakan tersebut.
Di Indonesia pada dasarnya pengelolaan
perikanan lebih berkaitan dengan masalah manusia (people problem) dari pada
masalah sumberdaya (resources problem). Hal ini didasarkan pada pertimbangan
bahwa lebih dari 60% produksi perikanan Indonesia dihasilkan oleh perikanan
skala kecil, yang banyak menyerap tenaga kerja yang dikenal dengan nelayan.
Kaiser dan Forsberg (2001) memberikan beberapa hal yang harus diperhatikan
didalam pengelolaan perikanan, yaitu :
1). Jumlah stakeholder perikanan adalah
banyak
2). Kebijakan pengelolaan harus dapat
diterima oleh semua stakeholder
3). Hormati sebanyak mungkin
nilai-nilai yang berkembang di masyarakat
4). Kebijakan harus mempertimbangkan
aspek social, politik dan ekonomi
Cara pandang pengelolaan sumberdaya
perikanan seperti ini pada hakekatnya telah dipahami oleh sebagian besar
masyarakat perikanan Indonesia. Hanya saja, pada saat ini sebagian besar daerah
di Indonesia pengelolaan sumberdaya perikanan lautnya masih berbasis pada
pemerintah pusat (Government Based Management). Dalam
pengelolaan seperti ini, pemerintah bertindak sebagai pelaksana mulai dari
perencanaan, pelaksanaan sampai pada pengawasan. Sedangkan kelompok masyarakat
pengguna hanya menerima informasi tentang produk-produk kebijakan dari
pemerintah. Menurut Satria dkk, (2002), pengelolaan perikanan seperti
ini mempunyai beberapa kelemahan diantaranya adalah :
1). Aturan-aturan yang dibuat menjadi
kurang terinternalisasi didalam masyarakat, sehingga menjadi sulit untuk
ditegakan.
2). Biaya transaksi yang harus
dikeluarkan untuk pelaksanaan dan pengawasan adalah sangat besar, sehingga
menyebabkan lemahnya penegakan hukum.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian yang telah dikemukakan
diatas, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :
1). Sumberdaya ikan pada dasarnya
adalah sumberdaya alam, yang sifatnya mempunyai hubungan negative terhadap
pertumbuhan ekonomi. Artinya, semakin tumbuh ekonomi suatu Negara, maka
cadangan sumberdaya alamnya akan semakin menipis.
2). Ikan adalah sumberdaya alam yang
bersifat renewable, dan pengelolaannya harus mempertimbangkan aspek biologi,
ekonomi dan lain sebagainya. Dalam kaitan ini, “Optimum Sustainable Yield” adalah
pendekatan yang paling memadai.
3). Terdapat beberapa metoda yang
dipergunakan didalam menentukan stok ikan, dan ini sangat tergantung pada jenis
dan sifat ikan.
4). Pemerintah mempunyai peranan yang
penting dalam pengelolaan sumberdaya ikan, dengan tiga bentuk fungsinya yaitu
fungsi alokasi; fungsi distribusi dan fungsi stabilisasi.
5). Didalam menjalankan fungsinya,
pemerintah harus mengembangkan kerangka pendekatan teologik
6). Pengelolaan sumberdaya ikan yang
dijalankan oleh pemerintah di Indonesia, mempunyai beberapa kelemahan.
DAFTAR PUSTAKA
Food and Agricultural Organization,
1997. Fisheries Management. FAO Technical Guidelines for Responsible
Fisheries, No. 4 82p. Rome.
Cunningham. S, M.R. Dunn and D.
Whitmarsh, Fisheries Economics. An Introduction. Mansell Publishing
Limited. London.
Dahuri, R, 2002. Membangun
Kembali Perekonomian Indonesia Melalui Sektor Perikanan dan Kelautan. Lembaga
Informasi dan Studi Pembangunan Indonesia. Jakarta.
Keraf, A.S, 2002. Etika Lingkungan.
Penerbit Buku Kompas. Jakarta.
Komisi Nasional Pengkajian Stok
Sumberdaya Ikan Laut, 1998. Potensi dan Penyebaran Sumberdaya Ikan Laut di
Perairan Indonesia. LIPI. Jakarta.
Lawson. R.M, 1984. Economics of
Fisheries Development. Fraces Pinter (Publisher). London.
Nasoetion, A.H, 1999. Pengantar Ke
Filsafat Sains. PT. Pusaka Litera Antar Nusa. Bogor.
Nikijuluw,
V.P.H, 2002. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. PT. Pustaka
Cidesindo. Jakarta.
Satria, A, A.
Umbari, A. Fauzi, A. Purbayanto, E. Sutarto, I. Muchsin, I. Muflikhati, M.
Karim, S. Saad, W. Oktariza dan Z. Imran, 2002. Menuju Desentralisasi
Kelautan. PT. Pustaka Cidesindo. Jakarta.
Suparmoko, M,
1997. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. (Suatu Pendekatan
Teoritis). Ed.2. BPFE. Yogyakarta.
Widodo, J dan M. Nurhudah, 1995. Pengelolaan
Sumberdaya Ikan. Sekolah Tinggi Perikanan. Jakarta.
Widodo, J dan S. Nurhakim, 2002. Konsep
Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Disampaikan dalam Training of Trainers on
Fisheries Resource Management. 28 Oktober s/d 2 November 2002. Hotel Golden
Clarion. Jakarta.